Waktu berjalan dengan tempo yang sama setiap harinya. Memaksa seseorang untuk tetap mengikutinya meski waktu membatasi setiap mimipi-mimpi manusia.
Sang surya mengintip di balik awan. Separuh cahayanya jatuh ke bumi dan separuhnya lagi tertahan gumpalan awan. Ruang kelas semakin sepi. Hanya ada sebagian kecil penghuni kelas yang masih bertahan. Dinar menaruh kepalanya di atas meja. Matanya jauh menerawang. Sesekali dia menegakkan kepalanya dan kembali menaruh kepalanya.
Suara yang tak asing lagi didengar Dinar, membangunkan Dinar dari khayalan-khayalannya. Dia menoleh cepat ke arah sumber suara itu. Senyumnya mengembang meski seketika dia sembunyikan. Dua anak yang masih asyik bercanda itu, berjalan beriringan masuk kelas. Tawa mereka semakin meledak. Sebuah sorotan tajam terarah ke mata Dinar dan dengan cepat lenyap. Dinar memalingkan muka dan berusaha menutupi rasa yang sedang ia rasakan.
Ruang kelas yang tadinya sepi kini berubah menjadi ruangan penuh canda tawa. Tawa di sana-sini menemani muka-muka polos anak-anak itu. Semua amarah dan kesedihan seolah menghilang dan berubah menjadi kebahagiaan tak ternilai harganya.
Aku teringat ketika kamu mengajariku untuk memakai otakku dalam menghadapi masalah. Begitu sebaliknya ketika aku mengajarimu untuk memakai perasaanmu untuk menghadapi masalah. Aku juga masih ingat setiap tawa yang menghiasai hari-hari kita, dan setiap kesalahpahaman yang mendewasakan kita. Tapi hari ini aku baru ingat bahwa waktu kita tidaklah lama lagi. Masih banyak cerita dan tawa yang belum kubagi denganmu. Masih banyak pula waktu yang ingin kuhabiskan bersamamu. Bila waktu dapat kuputar, inginku kembali pada masa di mana aku baru mengenalmu.
Untuk semua teman-temanku yang membuat hidupku berarti, aku hanya ingin merangkai kata-kata ini untuk kalian...
Riza Nurlailla (27-07-11)